Posts

Showing posts from September, 2012

teman

Ternyata bisa sesederhana itu, Sesederhana meyakini kita masih bisa bertemu Meski kangen tak lagi bernama dan canggung membuat kata tertelan Pelan aku atur lensa dan memori, menyimpan rautmu yang bersemu perih Dan tatap mata yang tak dapat terselami lagi Sudah lama sekali kita tak bertatapan, dan kata mengaburkan semua jejak Dimana aku mencari hangat, kala senyum setengah saja tersungging Dan uluran tangan tak lagi tersambut Dimana mesti waktu dipersalahkan, karena masih saja terasa asing Dan jarak semakin membentang, memisahkan dunia kita yang beda Dalam pagi yang muda, aku tak ingin menoleh tak ingin melambai Sekali lagi, a proper good bye.. tergenggam erat sebuah kartu pos tentang kotamu yang riuh Tarikan tanganmu dalam kata, dan namamu di sudut bawah Membuatku begitu bahagia, menemukanmu yang aku Semoga ini bukan pertemuan terakhir kita, seperti katamu Somehow, kita dipertemukan lagi.. mungkin lain kali kalau kamu tiba2 ngecek g

Schoenes Wochende

Pak Fahmi rikues saya menuliskan sesuatu tentang perjalanan kami weekend kemari menelusuri selatan. Sudah tiga hari dan saya belum mendapatkan kata-kata dan inspirasi agar bisa menulis dengan baik. Sore ini saya duduk di depan laptop dalam sore tipikal jerman yang dingin dan abu-abu. Lalu mencoba mengingat-ingat tentang perjalanan kami kemarin itu. Dua hari dua malam bersama, menyinggahi beberapa kota, berbincang tentang apa saja. Ada yang tertawa, ada yang marah, ada yang sakit hati dan ada yang berbicara tapi tak ada yang peduli. Berlari, turun naik kereta, mencari kereta yang tepat, kedinginan dan menghitung kantuk dalam goyangan gerbong menembus siang dan malam. Kami masih bersembilan, empat tiket akhir minggu yang manis dan sembilan tiket kereta paling cepat, berdebat tentang apapun, bercanda dan berkompromi. Berjalan dengan ransel yang berat dan sesekali mengabadikan gerak dalam balutan kota-kota di selatan yang disinggahi. Masih saja untuk hal-hal kecil yang terlupakan

Wilkommen Herbst

My playlist : David Cook "always be my baby" Urban Zakappa "Cafe Latte" Kalau aku bisa seyakin itu, tentu segalanya akan jadi lebih mudah Namun, aku tidak punya apa-apa lagi selain kenangan yang basah kering oleh hujan tak hujan yang turun di kota ini Jendela kelas yang terlalu sering dibuka dan ditutup sambil tersenyum membayangkan cerita-cerita tentangmu yang aku pinta dari angin Dan semua waktu yang ada untuk membiasakan diri dalam cuaca yang mulai dingin Seperti membiasakan diri dengan cuaca hati tanpa garis pelangimu Sesederhana itu dan se-complicated itu Sambil berkemas lagi meninggalkan semua di sini, di kota persinggahan ini dan jendela kamar yang berkabut, Aku tulis namamu dalam embun lalu menghapusnya pelan, dan menulisnya lagi.. Menanti kejutan dalam helai daun yang mulai menguning  gugur sehelai demi sehelai..

cerita hari ini

Minggu pagi yang tak biasa, matahari bersinar lantang. Mata terbuka dengan sedikit cerita tentang cinta, masih saja sedih tapi entah kenapa kami masih bisa tertawa lalu menangis sedikit. Kamar berantakan dengan kenangan. Koper perlu dipacking kembali dan tiba-tiba pakaian kotor menyapa ingin merasakan segarnya sabun dan air. Kamar kembali bersenandung ketika satu bulan terlalu banyak yang diselipkan, ah tak muat lagi. Bahkan plastik hampa udara tak mampu menyedot perasaan yang tiba-tiba riuh. Lalu sebuah pertemuan, setelah lama tak bertemu. Ruang cuci yang seadanya, berani-beraninya memindahkan cucianku dalam wadah merah jambu. Wajahnya bersinar dalam terang ruang. Percakapan yang biasanya, entah kenapa terasa senang menyimak kata-kata. Bahkan bahasa itu tak kukenali, seperti bahasa ibu, mengalir pelan, tak ada yang sulit untuk mengatakan. Nikmati saja, meski rompi itu tiba-tiba menyusut dan lift terlalu cepat menanjak. Kalau beruntung, akan ada selamat tinggal, sebelum kota ini

chatting mania

Sebulan lebih ini saya selalu online, mencari-cari teman ngobrol gak jelas. Jam-jam lewat tengah malam waktu indonesia, otomatis nama-nama di chat list saya berkurang drastis. Beda lima jam ini, mau gak mau membuat waktu bicara berkurang. Pagi ketika saya terburu-buru masuk kelas, teman-teman di indonesia sedang pasrah-pasrahnya diajak ngobrol. Siang pas saya balik, sudah pada bubar kantor. Sore mulai agak rame, habis maghrib, sudah sendirian ngutak-ngatik laptop, mati gaya. Dulu waktu adelaide yang duluan lima jam, saya sangat menikmati ngobrol sama teman-teman di Indonesia. Saya balik kampus, semuanya pada bosen di kantor dan tentu saja lebih enak ngobrol sama saya. Pas ndut di NY juga enak, jamnya sama, Cuma beda pagi siang aja. Sekarang ini, saya selalu harus menghitung dengan tangan jam berapa kira-kira di Indonesia. Susah juga nambah lima jam itu ternyata. Trus pertanyaan favorit teman-teman kalau nyapa saya, Cuma satu, jam berapa di sana? Hehehe lalu saya jawab tru

I won't give up

Ada saat dimana, kamu gak mau menyerah, kalau kata om Jason Mraz, I won’t give up. Saya suka dengan kekeuhnya bang Jason, mempertahankan semuanya. Buat saya, kadang kita harus menyerah. Saat dimana semua usaha sudah dilakukan dan kita terlalu capek menjalani semuanya. Bukan hanya dalam konteks “cinta” saja, dalam kehidupan sehari-hari, dalam banyak hal saya menyerah. Menyerah buat saya, ketika sudah mencoba dan ternyata saya tidak bisa-bisa, terlalu stress ketika melakukannya, atau simple tidak bisa menikmatinya. Kegiatan tersebut antara lain : menyelam, main gitar, buat martabak cane, naik gunung dengan ransel besar di medan yang sulit, nyuci baju putih yang penuh noda, dan merajut. Bukan berarti saya tidak pernah menyelam atau nyuci baju putih. Kalau bisa didelegasikan dengan yang lain, maka dengan senang hati saya mempersilahkannya. Semua pekerjaan/kegiatan pasti memiliki tantangannya masing-masing.  Kita memiliki preference dan bakat di bidang masing-masing. Beber

corat-coret

Di kelas tadi, saya mengintip kertas latihan soal teman sebelah saya, ada satu gambar karikatur yang digambarnya sendiri di saat kami terkantuk-kantuk mendengarkan si ibu guru menjelaskan jawaban pertanyaan tersebut. Saya tersenyum, gambarnya lucu sekali. Lalu mengapa seseorang menggambar di kertas latihan soal, buku catatan, dengan gambar yang tidak ada hubungannya sama sekali? Jawabannya, bosan. Kebosanan yang menyerang ditambah rasa kantuk yang sangat. Maka tangan harus digerakkan agar mata tidak tertutup. Sepertinya topik ini sering dibahas di majalah remaja langganan saya dulu dan beberapa teridentifikasi sebagai bahasa bawah sadar yang kadang tak disadari sama yang ngegambar. Pesan ini muncul begitu saja lewat coretan bawah sadar. Kalau saya tidak bisa menggambar terlalu rumit dan saya tau arti gambar-gambar tersebut karena mambaca artikel tentang fenomena ini. Beberapa gambar yang biasanya saya corat coret adalah gambar rumah (artinya pengen pulang dah gak tahan la

detak

Sepertinya saya produktif sekali menulis minggu ini. Saya tidak melakukan apa-apa, di kamar saja seharian sepulang dari les. Beberapa alasannya karena cuacanya hujan-gak hujan-hujan. Mungkin juga lagi banyak inspirasi, melihat berbagai macam foto, membaca berita di koran internet, mendengar lagu-lagu baru, dan langit yang kelabu yang membuat saya mellow swallow gellow. Lalu dalam tidur siang saya yang sayup-sayup, di atas sprei putih (kalau bukan pinjaman, tak akan pernah saya memakai sprei putih), saya melihat pergelangan tangan saya. Ada yang berdenyut di sana.  Maka untuk sekitar lima menit saya memandangi pergelangan tangan saya yang tergeletak berjarak lurus pandangan mata. Detak itu terlihat begitu aneh. Bagian tubuh saya yang tak bisa saya kendalikan. Detak yang membuat saya terpana, entah kenapa siang ini menampakkan dirinya. Saya masih hidup. Mungkin suatu saat detak itu berhenti. Detak dan garis biru pembuluh darah itu, sedang bekerja keras untuk saya, bahkan ketika

sapa hangat

Sore, dalam sesi skype dengan nenek, saya mengabsen dua nama yang biasanya meramaikan hidup saya. Sudah agak lama mereka menghilang, entah dimana rimbanya. Rasanya tidak mungkin kalau sore ini mereka menyapa. Beberapa saat kemudian, ketika ludah saya belum kering, saya dikejutkan dengan sapa paling hangat dan teriakan ‘Yaaaawww” paling rock n roll, oleh mereka. Sepertinya mereka masih bisa dihubungi melalui gelombang yang lain. Saya  menyalahkan perbedaan waktu dan ketidakmampuan saya membeli pulsa untuk menelpon sambil tiduran di tempat tidur, sebagai penyebab, sesi pembicaraan saya dengan mereka-mereka ini sangat terbatas. Apalah daya, saya tak berdaya. Dalam kangen yang suka datang tiba-tiba, nama-nama yang terlintas, tiga sapaan hangat sore ini, sungguh menghangatkan hati saya, dan kota ini yang sedang berhujan. So sweet, terima kasih..

pengen ini itu

Sudah lama pengen makan ikan, akhirnya saya nekat kemaren ke supermarket beli ikan. Ya, ikan beku, mumpung santan yang saya beli baru sehari kadaluarsa (best before wkwkwk) dan ada bumbu kari sachet khas aceh yang saya bawa. Setelah dimasak dan dirasa, ternyata, bau ikannya agak gimana gitu. Waktu beli ikannya memang gak notice kalau Pangasius itu sejenis ikan hiu. Mata kuliah ikhtiologi itu sudah berlalu lama sekali. Sebenarnya selama di Indonesia saya hampir tidak pernah makan ikan hiu. Katanya kalau yang masaknya gak paten, memang agak bau. Sepertinya saya masuk dalam golongan koki yang tak paten itu. Hanya saja, ikan sudah jadi kari, harus dimakanlah. Curhat sama nenek, eh malah diceritain tentang tempat makan yang enak di Bandung. Kalau dulu Bandung hanya sejarak tiga jam perjalanan, saya pasti menanggapinya dengan berapi-api. Kali ini, saat semangkuk bakso, sebungkus cheetos, atau sepiring nasi padang langganan saya begitu jauh, cerita saja tidak cukup. Sepertinya homes

Analogi kereta dan hidup

Beberapa hari menghabiskan waktu di kereta api, saya memikirkan tentang hubungan antara kereta api dan hidup. Jaringan kereta api dan armadanya yang tepat waktu itu, mau gak mau membuat saya takjub. Lalu terlintas begitu saja, mungkin hidup ini bisa diibaratkan seperti naik kereta api di Jerman ini. Kita selalu punya tujuan yang dituju, jauh atau dekat tergantung kebutuhan kita. Jarak ini berbanding lurus dengan waktu tempuh dan harga tiket yang harus dibeli. Harga tiket itu menurut saya, adalah usaha dan pengorbanan yang harus kita lakukan untuk mencapai tujuan. Kalau kita ingin cepat sampai ke tujuan, tak perlu tukar-menukar kereta, tentu pilihannya kereta yang keren seperti ICE. Kalau uang kita tak seberapa tapi waktu tempuh yang agak lama, dengan fasilitas yang tak seberapa, IC mungkin pilihan yang tepat. Kalau pengen naik kereta yang murah dan lama di jalan bisa naik RE. Memilih menempuh perjalanan naik kereta apa, kemana, kapan, dengan siapa, selalu menjadi piliha

Kopi dan Pembicaraan tentang cinta

Pembicaraan atau ngobrol gak jelas tentang cinta itu, paling enak kalau ditemani kopi. Sore itu setelah sekian lama tidak ngupi-ngupi sambil ngobrol-ngobrol masalah cinta, hati, perasaan, dan teman-temannya yang lebay itu, saya berkesempatan berbicara dengan dua adik saya di tengah pusat kota.  Udara tidak terlalu dingin jadi kami duduk di luar. Segelas Ice Vanilla Latte dan kaki sebelah yang diangkat ke atas kursi. Mata menatap nyalang ke langit yang biru. Pembicaraan mengalir lancar dan es kopi itu tiba-tiba habis. Sore semakin tua dan akhirnya harus berjalan pulang meninggalkan pembicaraan tentang cinta. Sedikit catatan saya tentang pembicaraan sore itu.. “Cinta itu mudah kak, kalau kangen telpon aja. Kalau perlu samperin. Gampang. Gak perlu gengsi-gengsian, siapa yang harus duluan dan siapa yang harus nyamperin” Ya, bagaimanapun pembicaraan tentang cinta sore itu menarik karena ada sesuatu yang terasakan dalam atmosfir. Meski sejuta penyangkalan dalam sejuta can

Mimpi-Mimpi Saya

Tidak banyak mimpi yang saya ingat. Beberapa tak terlupakan karena penggambarannya terlalu ekstrim di dalam kepala. Saya pernah pengen beternak kambing dan tinggal di suatu tempat terpencil. Paling sebulan sekalilah ke kota.   Sambil ngasi makan kambing saya chatting dengan sahabat saya karena daerah itu gak ada sinyal HP. Saya pernah bercita-cita, menjadi ibu rumah tangga. Tinggal di rumah mengurus anak-anak sambil menulis novel dan berbisnis kecil-kecilan dengan sahabat saya (ini ingat karena ditulis dalam sebuah catatan) Saya pernah membayangkan tinggal di Iboih, mengurus usaha keluarga di lahan beribu-ribu hektar, sekalian jadi staf di kantor lurah. Di belakang rumah ada Helipad, jadi teman-teman bisa datang dengan mudah karena helikopter bisa mendarat di sana. Namun, satu mimpi yang hampir terlupakan Saya bekerja di sebuah gedung tinggi, tidak memakai seragam, bekerja dengan Kolega yang berasal dari berbagai negara, trus makan siang di kantin dengan pemandan

Shopping Day

Tadi pagi kami bersemangat menuju sebuah pasar kaget yang lokasinya di lapangan dekat Universitas Dortmund. Waktu tiba di sana, sayanya yang kaget. Ekspektasi saya, pasar ini seperti Sunday Marketnya Adelaide, tapi ekspektasi saya terlampaui. Pasar yang ini, menjual barang bekas dan baru. Apa saja, namun demikian barangnya bagus-bagus sekali. Kalau pakaian atau jaketnya, bermerk, beraneka rupa, dan banyak sekali pilihannya. Barang pecah belahnya sangat menggoda. Harganya, boleh ditawar. Acara tawar menawar ini berbekal beberapa kosa kata yang diajarkan guru saya di kelas dan semua penjualnya rela barangnya ditawar. Maka Sayed, sebagai satu-satunya lelaki di antara empat tante (perempuan) cantik, sangat berjasa. Tak henti-hentinya mengingatkan agar kami tidak kalap berbelanja. Kadang si ganteng (uhuk..uhuk) ini, harus menarik kami agar terus berjalan dan tidak tergoda bertransaksi. Mungkin sekitar tiga jam kami berputar-putar di lapangan yang besar sekali itu. Penjualnya memar

September Ceria

Tanpa terasa September sudah datang. Cuaca mulai dingin. Sisa-sisa Sommer yang hangat sudah tak ada lagi. Musim semi ini sungguh menggoda. Sudah bisa bersiap-siap menghadapi kehidupan yang sesungguhnya. Bulan depan akan berpisah dengan teman-teman se-Batch yang akan menuju kotanya masing-masing. Mungkin akan terasa rindu yang sangat, dalam candaan yang makin lucu dan rahasia yang tak ada lagi. Memang terlalu banyak masalah yang telah kami lalui bersama, dalam tangis tawa. Dalam dekap dalam jauh. Hingga nanti akan terasa kosong untuk rasa kehilangan yang biasa-biasa saja. Sebulan di sini, si bos saya nun jauh di pulau sana, tetap memantau. Katanya, kenapa saya jalan-jalan melulu. Ternyata si bos sering melihat dinding saya yang penuh foto di sana di sini. Ah, bos, foto-foto itu tak lama lagi akan menyusut, karena teman-teman berfoto akan menyebar. Dan lagi acara jalan-jalan itu bagian dari kursus bahasa, agar tercicipi sedikit kultur negeri baru ini. Ini hanya sedikit ke