Posts

Showing posts from May, 2012

stay foolish :)

Selama mengikuti kursus ini, saya kehilangan jati diri. Saya yang sekarang ini, bukanlah siapa-siapa. Rasanya seperti kembali menjadi anak SMP. Labil, malas, bandel, dan bodoh. Hanya satu yang tetap sama, semangat belajar saya tak pernah padam. Guru saya itu, selalu membuat saya merasa serba kekurangan lalu membuat saya merasa malu  karena saya belum bisa. Semua ego saya, semua kualifikasi saya, hilang berkeping-keping. I am nothing di dalam ruang kelas itu. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari seorang saya di kelas itu. Kesabarannya hilang mendengar saya terbata-bata menjawab soal PR. Keningnya berkerut membaca karangan saya yang amburadul. Telinganya menjerit mendengar pelafalan saya yang salah melulu. Hahaha.. Namun, saya bersyukur, hampir sembilan bulan ini saya menjadi pembelajar lagi. Belajar bersungguh-sungguh, mendapatkan pengalaman belajar yang sungguh super. Belajar satu bahasa lagi saat tak muda lagi, membuktikan tak ada kata terlambat untuk mempelajari sesuatu.

satu kota lagi

Sudah malam ketika saya berbincang dengan ‘senior’ saya yang duluan menuntut ilmu di kota itu. Ragu sedikit ketika membuka percakapan. Awalnya saya tertanya  tentang barang bawaan lalu merembet tentang tempat tinggal. Berbagi beberapa kekhawatiran tentang satu perjalanan lagi. Saya takut merasa sendiri.  Kota yang asing tanpa teman, benar-benar sendiri. Tak terbayangkan. Selama sejarah perantauan saya, teman saya selalu banyak, khususnya teman Indonesia, lebih khususnya teman Aceh. Teman Aceh ini sungguh bisa mengobati galau-galaunya homesick. Hanya melihat atau duduk bersama teman-teman dari Aceh sudah sangat membantu. Mendengar aksen dan bahasa yang karib itu, atau sekedar gaya bercanda yang terbiasa, terbukti membuat saya lebih baik. Bonusnya sekali-kali bisa mencecap masakan khas, bumbu yang membuat terkenang tentang sebuah rumah dan keluarga. Maka, nasehat untuk ‘gaul’ dan membaur, selalu saya tepikan. Saya ya tetap saya, tanpa bauran dan celupan. Saya hanya ingi

makan siang dimana kita?

Siang, Jakarta habis diguyur hujan. Langit masih mendung ketika saya dan dua teman keluar dari perpustakaan dalam keadaan kelaparan.  Makan siang dimana?  Membiarkan langkah membimbing ketika tiba-tiba berbalik arah menuju Sarinah. Bosan saja dengan menu kantin atau sepiring nasi padang yang terbiasa. Berjalanlah kami menyusuri sisi Jakarta yang rimbun, deretan rumah tua, dan trotoar licin sehabis hujan.   Berbicara tentang apa saja, mengusir lapar, menikmati siang. Akhirnya kami makan siang seadanya di Jalan Sabang. Saya yang ngotot pengen menyusuri jalan itu. Mungkin sedikit rindu pada siang di pulau yang terik, entahlah.. Setelah kenyang, membiarkan makanan turun perlahan,  berjalan pulang menyusuri kebun sirih dan Jalan Jaksa. Mengintip-intip sela-sela Jakarta yang tak terlalu rapuh. Sedikit mellow, menikmati satu siang dalam langkah-langkah pendek mengukur jalan-jalan di Jakarta.

Pameran Lukisan Nduut

Kemaren dulu, saya posting poster pamerannya si ndut di wall facebook. Ngetag sana-sini tanpa permisi, sasarannya teman-teman dekat saya, yang kenal ndut. Selebihnya, mungkin ini sesuatu yang harus disyukuri, satu mimpi yang jadi nyata. “Kok bisa sampai pameran..” Ceritanya panjang lebar. Bukan sekedar pengen pamer pastinya, lebih kepada berbagi ingatannya tentang  tanah bernama “Aceh” dengan semua adat istiadat dan tingkah polah yang terekam dalam memorinya sejak kecil dulu. Sejak dulu ndut udah tertarik dengan segala detil-detil yang meng-Aceh. Ingatan ini semakin menguat ketika dia jauh dari tanah kelahiran. Ingatan-ingatan pendek tentang suasana pasar, warung kopi, lambaian selendang, atau pesta kawinan terkuak kembali. Berharap apa yang teringat akan selalu ada dan terlestarikan, meski hanya sesimpel senyum nyak-nyak penjual sayur setiap pagi di pasar Peunayong. Ruang pamer ndut yang pertama adalah dinding rumah saya. Kok bisa ya, orang tua saya berinisiatif memb

Green Canyon suatu akhir pekan

Rencana Jalan-Jalan ke Pangandaran itu Cuma selintas dua lintas dilontarkan. Sampai hari keberangkatan, saya tak pernah berpikir saya akan pergi ke Pangandaran. Perjalanan santai, modalnya cuma peta yang didownload dari google maps. Beberapa kali nyasar, Alhamdulillah cowok-cowok di mobil rental itu sangat tidak gengsi buat bertanya tentang arah. Namun, nyasar memang tak terhindarkan. Mungkin di situ seninya, nyasar, jadi ada ceritanya. Akhirnya sampai juga di Green Canyon. Masih gak ngerti apa yang mau dilakukan ketika sudah berhelm dan berjaket pelampung. Rafting yang tanpa perahu itu sungguh menguras keberanian. Uji nyali saya yang selama ini hanya saya gunakan untuk menyeberang jalan setiap pagi, kali ini harus diobral untuk mengarungi sungai hijau nan indah. Kami harus meloncat ke sungai yang berarus cukup deras. Memanjat batu-batu, dengan rasa percaya diri yang sangat, mengangkat tubuh yang cukup berat, dalam langkah pasti. Memilih pijakan dan percaya kepada guide dan t

makan yuuk !

Sebelum berangkat merantau lagi, halah bahasanya, ibu saya berpesan saya jangan jajan sembarangan. Kalau ‘gak sempat’ / ‘malas’ masak, kalau mau beli makan harus lihat-lihat dulu tempatnya. Ibu saya berpendapat makanan ‘rumah’ jauh lebih sehat dibandingkan makanan beli. Sekali-kali saya masih makan ‘pecel ayam’ yang warna minyaknya sudah gak jelas lagi. Kadang saya berharap ada keajaiban, ketika ngintip ke wajannya si Bapak, warna minyaknya seperti warna iklan minyak goreng di TV, tak akan pernahlah. Kadang kalau sudah sangat-sangat bosan membeli makanan, baru saya turun ke dapur. Meski Cuma telur dadar, ikan sarden, atau kalau pengen udang, memang lebih nikmat. Meski excuse saya, buat diri saya, bahwa selagi masih di sini, puas-puasin sarapan bubur ayam, dinner pecal ayam, dan makan siang di Warung Padang. Satu lagi yang paling parah, si mas tukang bubur langganan saya, ember cuci piringnya cuma dua. Airnya gak diganti-ganti habis cuci mangkok dan sendok segambreng-gambr

auf wiedersehen Uci

Ketika sudah duduk di Damri menuju Gambirpun, air mata saya masih turun pelan-pelan.  Lambaian tangan Uci di depan Gate, sesaat sebelum masuk, makin membuat air mata saya membanjir. Empat tahun tidak berjumpa, seakan tak berjarak. Perantara email dan skype menuntaskan semua cerita dan pembicaraan. Jadi kenapa saya mellow sangat ketika berjumpa dengan Uci? Mungkin saya bersedih  karena Uci lebih percaya dengan mimpi-mimpi saya yang absurd ketimbang saya yang punya mimpi. Sebaliknya saya juga percaya mimpi-mimpi gilanya yang Insya Allah akan jadi nyata. Sibuk menerka-nerka, dimana nanti dan kapan kami akan bertemu lagi. Apakah di belahan benua sana, atau di pulau kecil itu, entahlah. Biarlah keyakinan yang mengantar perjumpaaan itu, seperti keyakinan uci bahwa kami akan bertemu lagi sebelum saya merentang jarak lebih jauh darinya. Menerawang masa depan, dalam balutan doa, tetaplah menjadi kuat, tetaplah menjadi tegar, dan mari berjalan bersama menjemput impian. 

suatu siang yang berhujan

Ketika keluar dari kelas siang tadi, langit sudah gelap. Saya memutuskan tak langsung pulang, menunggu hujan reda di perpustakaan. Setelah meletakkan tas, saya duduk di dekat rak majalah. Mengambil acak satu majalah, membuka-buka, membaca satu dua kata yang saya mengerti. Bosan dengan majalah, saya berjalan ke jajaran laptop di ujung perpus. Ternyata ada teman sekelas saya, Danang sedang duduk sambil memegang Ipad, gadget baru perpustakaan yang diletakkan  beberapa di atas meja baca. Hahaha, saya mau ngaku, saya belum pernah megang-megang Ipad lebih dari 5 menit. Dengan penuh rasa keingintahuan, saya akhirnya berhasil berIpad-ria, di bawah supervisi Danang.  Lalu yang paling menyenangkan, membuka google maps, menghitung berapa detik yang kami butuhkan untuk bisa bertemu. Memasukkan nama kotanya dan kota saya, lalu keluarlah, 300 something km. 3 jam sekian-sekian, berapa detikkah..? Kata Danang, setara jarak Jakarta-Cirebon.  Sejauh itukah? Selama itukah? Ya, s

sendal gunungkyuuu

Sudah lama saya ingin say “tchuss” dengan yang namanya sendal gunung. Masa kuliah di Bogor dulunya, saya dan sendal gunung saya itu sungguh karib. Hingga kini, sendal Boogie itu masih ada, tersimpan manis di rak sepatu. Saya suka jalan, meski tak ke gunung, hanya ngubek-ngubek pasar, tetap saja sendal saya itu sangat berjasa. Kaki saya ini sungguh tak feminim, gak suka dengan sendal yang girlie atau sepatu yang cantik. Bolak-balik ganti sendal, setahun terakhir saya kembali ke sendal gunung lagi. Lalu ditambah dengan satu sendal sepatu gunung, kali ini sendal sepatu adik saya yang ditukar dengan sendal sepatu saya yang meski agak macho tapi bukan sendal gunung. Mungkin memang sudah jodoh, kaki saya dengan sandal dan sendal sepatu gunung itu. Sore ini, saya tersenyum simpul ketika teman saya yang nekat melepaskan sepatu berhak 5 sentinya, ketika kami menunggu taksi setelah berputar-putar di pasar. Memang tak cantik, tapi kaki saya sungguh nyaman dengan sendal gunung yang s

Obeng

Versi Pengen Kenalan : “Dek punya Obeng ?” “Gak punya bang” “Tapi kalau nomor telepon punya kan..?” Versi Mau Pinjam Obeng : “Pak punya obeng ?” “Obeng gak punya, tapi kalau nomor telepon bapak punya” Hahaha.. sore itu saya mondar mandir nyari obeng. Harapan satu-satunya si Bapak tukang galon, satu-satunya kenalan di Jakarta tercintah mau meminjamkan obengnya. Gagang pintu itu tiba-tiba patah, jadinya pintunya harus dibongkar, lalu diganti atau dikeluarkan per nya. Tanpa obeng, semua itu tak mungkin dilakukan.  Jadi ingat waktu ngekos di Bogor dulu, Babah membekali saya satu kotak perkakas warna cokelat. Isinya lengkap, mulai dari bermacam obeng, tang, palu, paku-pakuan, baut dan sebagainya. Babah saya memang tukang sejati, tidak akan bekerja tanpa peralatan yang lengkap. Meski saya hanya seorang anak perempuan, dipandangnya perlu membekali saya dengan sebuah kotak perkakas yang lengkap. Ya, kadang obeng memang lebih dibutuhkan dari sebuah nomor telepon.. wk

calon dan tanggal

Kalau ada yang tanya, saya sudah punya calon atau belum? Ya, saya sudah punya. Kalau ada yang tanya, kapan? Apakah tanggalnya sudah ada? Ya, sudah ada, Insya Allah tidak lama lagi. Tanggalnya juga sudah ada ancar-ancarnya. Hanya saja calon dan tanggal ini berkaitan dengan kelanjutan studi saya. Anehnya, tidak ada yang benar-benar tertarik dengan calon dan tanggal yang sudah saya miliki. Lebih banyak yang tertarik tentang calon dan tanggal yang saya masih belum punya. Hahaha.. Seminggu lalu dapat email dari calon supervisor saya. Siang itu saya sudah mengantuk sangat, waktu membaca emailnya, rasa kantuk langsung hilang. Ada hal yang sangat penting yang harus segera dikonfirmasi kembali berkaitan tentang proses promosi saya. Hari-hari menunggu ini sungguh membuat saya deg-deg-an. Banyak hal yang mungkin terjadi dan masalah suka datang tiba-tiba. Sepertinya tak beda-beda jauhlah, sama-sama bersiap-siap... Semoga semua berjalan dengan lancar dan dimudahkan. Perjalanan men

salam-salaman :)

Minggu lalu, saya sangat senang, akhirnya saya bisa bersalaman dengan orang yang sangat spesial. Rasanya kalau dipikir-pikir, gak mungkinlah bisa. Mengingat, menimbang, dan seterusnya, saya ini siapa, dan beliau itu siapa. Namun, langkah dan pertemuan itu sudah ada yang atur. Alhamdulillah, saya bisa salaman dengan beliau, dengan jari terlunjuk terbalut kasa dan plaster, uh, tak terbayangkan. Mungkin ini salah satu hikmah bertelunjuk luka, bisa salaman dengan si Bapak. Kata teman saya, saya gak cuci tangan seminggu karena salaman sama si Bapak. Segitunya ya? Iya segitunya dan tetap saja tak bisa  alur pikir saya menelaahnya, tak sampai ke sana, kok bisa? Mana mungkin? Ah, jadi lebai. Ya, segalanya mungkin,  Terjadi maka Terjadilah. Jadi ingat waktu saya salaman sama satu orang itu. Salam biasa saja, diantar pulang ke rumah, setelah jalan-jalan mutar-mutar Banda Aceh. Pamitan, dia mau pergi lagi gak tau kapan balik. Salam-salaman ini jadi aneh waktu dia menarik tangannya dan melet

warna-warni

Ternyata hidup tak hanya hitam putih. Di Jakarta ini saya mengenal banyak teman baru dengan warna-warna yang cerah ataupun kelam, dan mereka tak pernah malu menunjukkan warnanya kepada saya. Warna-warna itu kadang membuat silau, kadang membuat takjub.  Hingga saya tak pernah bisa menahan diri mengajak mereka berbicara tentang dunia mereka. Percakapan-percakapan yang membuka sisi lain kehidupan, menepikan kenaifan saya memandang hidup, atau malah menonjok saya hingga tersungkur malu. Membuka mata, membuka hati, dan menikmati warna-warni hidup, merenung sedikit dan terdiam lama....

tak akan pernah cukup

Percakapan kami biasanya dimulai ketika kantuk menyerang, sementara di ujung sana, dia masih terjaga dalam mimpi. Percakapan sederhana, tentang cucian, setrikaan, pakaian yang mudah kusut, dan hal-hal kecil tentang hidup. Tak pernah terlalu serius. Walau banyak mimpi besar yang saya titipkan padanya, meninggalkannya di sana dengan mimpi-mimpi yang terbengkalai. Dia masih berjuang mewujudkannya, saya di sini mengejar mimpi yang lain.  Katanya tak perlu  minta maaf, tenang saja, ada dia yang akan terus melangkah mengusung mimpi-mimpi itu. “Andai kamu masih di sini sar...” “Bolehkah aku ikut denganmu...” Saya hanya tertawa, bukankah kita sudah memilih jalan yang berbeda? Kita akan tetap seperti ini, hanya mimpi-mimpi itu yang bisa menyatukan kita. Hanya itu saja, dan itu tak pernah akan cukup.

luka dan saya

Kejadiannya sangat cepat, dalam hitungan detik, leher botol kaca itu pecah ketika saya mencoba membuka tutupnya. Saya tidak menyadari apa yang terjadi, sampai saya melihat darah yang mengucur kencang. Perih terasa, ternyata jari telunjuk saya terluka. Darahnya sungguh banyak dan baru berhenti sejam kemudian. Padahal hanya satu jari yang terluka, ternyata efeknya sungguh signifikan. Mulai dari wudhu dan mandi yang harus mengangkat tangan karena kasa pembungkus luka itu tidak boleh basah. Paling sakit kalau dibawa menulis, mau tak mau saya gak bisa bolos, saya ada ujian besoknya. Maafkan tulisan tangan saya yang sungguh indah dalam ujian menulis, Herr. Apalagi ketika mau mengunci pintu, memegang sendok, sampai memakai baju harus bersusah payah. Baju kotor yang jatahnya dicuci, terpaksa diungsikan ke Laundry kiloan. Syukurnya, peralatan perang pribadi udah sempat saya cuci sehari sebelum kejadian . Jadi, nikmat apa yang saya dustakan? Ketika kenikmatan satu jari saja sungguh san

nonton atau disetrap?

Konser Sandhy Sandoro malam itu, tiga jam saya berdiri. Awalnya, saya pikir, sendal baru saya yang membuat pegal. Maka pelan-pelan saya lepas sendal itu dan berdiri tanpa alas kaki. Ternyata pegalnya tak juga hilang. Saya simpulkan kaki sayalah yang tak kuat lagi menahan berat tubuh. Kemudian saya dan teman-teman memutuskan mundur ke belakang. Duduk melantai. Meski agak jauh, tetap saja konsernya ternikmati. Jadi, ini pengalaman saya pertama kali nonton konser yang berdiri begitu dekat dengan panggung. Detak jantung yang terhantam suara drum, efek asap-asap, dan lampu yang menyilaukan ternyata seperti atribut wajib konser. Senangnya saya, penontonnya meskipun ramai sangat tertib dan teratur. Jadi rasanya aman saja. Selama ini kemana saja saya sampai tak pernah menonton konser seperti itu? Ingat saya dulu, waktu SMU pas Kahitna datang ke Banda Aceh, jangankan nonton, minta ijin pergi nonton aja saya tidak berani. Selebihnya berlalulah semua masa-masa kuliah saya dengan sun